~ Architecture ~
Letak Geografis dan Bentuk Kota Malang
Kota-kota kolonial di Jawa secara geografis selalu terbagi menjadi kota Pasisir dan Kota Pedalaman. Malang sendiri merupakan kota pedalaman. Letaknya yang cukup tinggi (450m diatas permukaan laut) serta sekitarnya yang merupakan daerah perkebunan, membuat kota ini menjadi sangat strategis, sekaligus juga indah. Inilah salah satu modal bagi kota kecil di pedalaman ini untuk tumbuh dengan cepat menjadi kota kedua terbesar di Jawa Timur setelah Surabaya.
Rencana perkembangan kota Malang dan pengembangan wilayah Ijen Boulevard merupakan salah satu perencanaan kota yang terbaik di Hindia Belanda waktu itu. Tentu saja hal ini tidak luput dari orang-orang yang ada dibalik rencana tersebut. Selain walikota Malang yang pertama yaitu : H.I. Bussemaker (1919 - 1929) juga tak bisa lepas dari peran perencana kota yang terkenal pada waktu itu yaitu : Ir. Herman Thomas Karsten.
Seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman, perkembangan yang pesat telah menggeser citra Malang sebagai kota terindah di Hindia Belanda sebelum perang dunia kedua. Hal itu terjadi karena kini telah bertebaran pusat - pusat perdagangan (commercial centre) bernuansa modern yang penataan kawasannya cenderung menghilangkan bangunan - bangunan kuno yang mempunyai nilai sejarah. Namun, kawasan Ijen Boulevard tetap bertahan dengan gaya Kolonialnya.
Pola Tata Ruang Wilayah dan Peletakan Bangunan di Wilayah Ijen Boulevard dan Sekitarnya
Pola Wilayah Malang Jaman Dahulu |
Hampir sebagian besar kota–kota di Jawa menggunakan alun–alun sebagai pusat kota atau sentral dari kota tersebut. Kota-kota kolonial di Jawa antara th.1800 sampai tahun 1900 memiliki ciri khas dengan alun-alun sebagai pusatnya. Bentuk-bentuk kotanya juga ditujukan terutama pada kepentingan ekonomi. Dimana kepentingan produksi pertanian serta distribusi memegang peran penting dalam perekonomian Kolonial. Semua ini memerlukan kontrol dalam sistim pemerintahan.
Pusat kontrol pemerintahan pada kota-kota kolonial di Jawa ditempatkan disekitar alun-alun kotanya. Sehingga semua bangunan pemerintahan seperti kantor Assisten Residen, Kantor Bupati, Penjara serta bangunan keagamaan seperti Masjid, Gereja dibangun disekitar alun-alun. Jadi, alun-alun berfungsi sebagai pusat kepentingan umum rakyat (Civic Center). Sedangkan pola permukimannya terbentuk disekeliling alun-alun menurut pengelompokan dari masyarakat majemuk yang menjadi penghuni kotanya. Orang Belanda tinggal di dekat pusat pemerintahan serta jalan - jalan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Orang Cina yang sebagian besar merupakan pedagang perantara tinggal disekitar pasar, yang disebut sebagai daerah Pecinan (suatu wilayah yang mayoritas penghuni adalah warga Tionghoa atau keturunan China), sedangkan orang Pribumi setempat tinggal di gang-gang disekitar daerah alun-alun.
Seperti umumnya kota di Jawa, pada tahun 1914 pola permukiman di Kota Malang dibagi menjadi permukiman Eropa, Timur Asing dan pribumi. Perkembangan penduduk Eropa yang cepat di Kota Malang menyebabkan permukiman orang Eropa kian menjauhi pusat kota. Hal ini menyebabkan Kota Malang berbentuk seperti pita memanjang (ribbon shaped cities).
Penyebaran Pemukiman di Malang
Pola penyebaran permukiman di Malang sampai tahun 1914 adalah sebagai berikut (Staadgemeente Malang 1914 - 1939):
1. Daerah permukiman orang Eropa terletak disebelah Barat daya dari alun-alun, Taloon, Tongan, Sawahan dan sekitarnya, selain itu juga terdapat disekitar Kayutangan,Oro-oro Dowo, Celaket, Klojenlor dan Rampal,
2. Daerah permukiman orang Cina terdapat sebelah Tenggara dari alun-alun (sekitar Pasar Besar). Daerah orang Arab disekitar belakang Masjid,
3. Daerah orang Pribumi kebanyakan menempati daerah kampung sebelah Selatan alun-alun, yaitu daerah kampung: Kabalen, Penanggungan, Jodipan, Talon dan Klojenlor,
4. Daerah Militer terletak disebelah Timur daerah Rampal.
Luas wilayah kota Malang pada th. 1914 adalah 1503 HA, sedangkan jumlah penduduknya adalah sebagai berikut (Staadgemeente Malang 1914-1939):
a. Penduduk Pribumi : kurang lebih 40.000 jiwa
b. Penduduk Eropa : kurang lebih 25.000 jiwa
c. Penduduk Timur Asing : kurang lebih 4.000 jiwa
Demikianlah gambaran kasar bentuk kota Malang, sampai tahun 1914, dengan alun-alun sebagai pusat serta pola jaringan jalan yang berbentuk jejala (Grid) dan penyebaran daerah permukiman yang ada disekitarnya.
Batas Alun-Alun Kota Malang
Alun-alun kota Malang itu sendiri terletak di sebelah selatan kawasan Kayutangan. Di sekeliling alun-alun berdiri bangunan-bangunan publik baik peninggalan belanda maupun bangunan baru.
- Sayap utara alun-alun terdapat sebuah kantor pos dengan arsitektur khas perkantoran zaman kolonial berdampingan dengan Hotel Pelangi (dulu bernama hotel Concordia) yang juga sudah ada sejak zaman Belanda.
- Sebelah barat, berdiri megah Masjid Jami’ berdampingan dengan gereja yang dua - duanya sudah menjadi saksi bisu kota Malang sejak zaman kolonial.
- Plaza Sarinah dan Gereja Kayutangan membentengi alun-alun di sebelah selatan. Plaza Sarinah adalah bekas gedung bioskop peninggalan Belanda.
- Sebelah timur alun - alun dihuni oleh gedung pemerintahan kabupaten Malang dan Mall Alun-alun (Ramayana).
- Bergeser sedikit ke tenggara akan ditemui kompleks Plaza dan pertokoan serta Pasar besar Malang.
Rencana kota Malang pada tahun 1920, yang dibuat oleh Ir. Thomas Kartsen merupakan sebuah fenomena baru bagi perencanaan kota - kota di Indonesia, kaidah-kaidah perencanaan modern telah memberikan warna baru bagi bentuk tata ruang kota, seperti penggunaan pola boulevard, bentuk-bentuk simetri yang menonjol dan sangat disukai pada periode Renaisance. Tatanan ruang kota Malang semula berpola radial, dengan alun-alun sebagai pusatnya (alun-alun sebagai sentral). Namun seiring datangnya pengaruh arsitektur kolonial, pola radial berangsur-angsur menjadi pola grid, karena pola grid dinilai lebih baik dari segi kepentingan kolonialnya. Grid memiliki pola yang tertata rapi sehingga dalam masa kolonial hal ini benar-benar lebih menguntungkan.
Menguntungkan dalam artian, Pola grid tersebut lebih tertata, rapi, lebih ekonomis dan efisien, serta dalam pembangunan pola grid lebih cepat terealisasinya sedangkan dari segi sirkulasinya lebih mudah untuk keluar masuk sarana transportasi saat itu, sehingga tidak menyebabkan kemacetan. namun pola grid memiliki kelemahan dimana pola grid tersebut hanya bisa dibangun pada lahan yang datar, sehingga pola grid tidak bisa dibangunin pada lahan bergelombang. Alun-alun sebagai sentral atau pusat kota masih dipertahankan sesuai dengan konsep umum yang berlaku bagi kota-kota kabupaten di Jawa pada masa kolonial waktu itu.
Di bagian barat kota Malang terhampar sebuah kawasan elite yang dahulunya adalah tempat tinggal orang-orang kaya Belanda. Rumah-rumah peninggalan belanda yang sampai sekarang masih tetap dipertahankan gayanya berdiri megah lengkap dengan nama dan tahun di depannya seperti; Anno 1320, Eleanor, Elizabeth dan sebagainya. Rumah-rumah itu berdiri dalam blok-blok rapi yang dibelah oleh jalan-jalan dengan pohon - pohon palem raksasa di pinggirnya. Tatanan rumah-rumah elite pada kompleks ini langsung berhadapan dengan jalan besar Ijen. Hal ini dikarenakan bangunan-bangunan ini bersifat monumental.
Di kawasan inilah terdapat sebuah boulevard yang dulunya adalah arena pacuan kuda yang pernah digunakan untuk Jambore Pandu (pramuka) sedunia pada tahun 30-an. Ijen Boulevard yang terletak di Jalan Ijen Kota Malang, begitu indah dan sejuk dipandang mata karena wilayah ini merupakan kompleks elit orang Belanda dan dari sisi desain lansekapnya sangat indah, menawan dan sangat diperhitungkan sekali seperti komplek bangunan, pedestrian, jalan, maupun median jalannya.
Tata bangunan di daerah Ijen Boulevard ini jika dilihat sekilas mungkin terlihat berpola grid, seperti gaya tatanan kota – kota Jawa di jaman kolonial Belanda. Namun menurut Respati Wikantiyoso (Ulasan Disain Urban “Kawasan Idjen Boulevard”). Pola grid sama sekali tidak ditemukan pada pengembangan Ijen Boulevard, malah pola di kawasan Ijen Boulevard lebih kepada pola linear dan simetri, karena pola grid menghasilkan pola yang seragam, sehingga lebih mudah dan lebih ekonomis. Penggunaan pola – pola grid biasanya digunakan pada daerah yang didominasi orang – orang pribumi. Unsur – unsur lokalitas yang berkembang pada seni arsitektur tradisional Indonesia tidak lagi digunakan pada pengembangan daerah Ijen Boulevard ini.
Dahulu komplek bangunan di Jalan Ijen ini sangat kental dengan bangunan Belanda pada umumnya. Namun sayangnya keadaan bangunan banyak yang mulai berubah seiring perkembangan jaman dan apa daya untuk mengembalikan seperti semula juga tidak memungkinkan, hanya berharap kondisi asli yang masih bertahan tetap dijaga oleh pemiliknya. Di sana juga terdapat Museum Brawijaya Malang yang menghalangi pemandangan Gunung jika kita datang dari arah Jalan Semeru.
Jika kita berjalan di area pedestrian di sepanjang jalan ini, sangat terasa nyaman, sejuk, dan area pedestrian yang luas sehingga terhindar dari kendaraan dari samping kanan. Pohon Palem menghiasi sepanjang pedestrian di Jalan Ijen. Selain itu berbagai vegetasi banyak ditanam di areal pedestrian baik dikelola oleh pemilik bangunan maupun oleh Pemerintah Kota Malang.
Jika kita melewati jalan ini, kita akan disuguhi oleh jajaran pohon palem raja dan median jalan yang penuh bunga dan perdu. Dengan jalan yang cukup lebar kita bisa lebih luas menikmati pemandangan dari kendaraan sewaktu melewatinya. Ijen Boulevard menjadi magnet tersendiri bagi pengunjung yang melewatinya. Konon Ijen Boulevard juga menjadi panduan bagi boulevard - boulevard yang terkenal di dunia, karena banyak orang luar yang meneliti desain boulevard ini.
Meskipun tatanan bangunan di wilayah ini cenderung terlihat berpola grid, namun ada pula pola sentral yang tidak ditinggalkan disini, pola sentral tersebut dapat kita lihat pada monumen Mayor Hamid Rusdi. Dimana monumen tersebut menjadi titik pusat dan banyak terdapat bangunan – bangunan yang mengelilinginya. Lokasi Monumen ini terletak di Jl. Simpang Balapan, Ijen Boulevard Malang. Monumen ini didirikan atas gagasan dan inisiatif pihak TNI KOREM 083 Baladhika Jaya untuk mengenang jasa-jasa Mayor Hamid Rusdi dalam mewujudkan Kemerdekaan Indonesia. Diresmikan pertama kali pada 10 November 1975 di persimpangan jalan antara Jl. Semeru dan Jl. Arjuna. Namun kemudian dengan seiring keberhasilan Kota Malang dalam meraih dan mempertahankan Piala Adipura untuk yang kesekian kalinya, maka keberadaan monument Hamid Rusdi digantikan oleh Monumen Adipura Kencana. Kemudian Monumen Hamid Rusdi dipindahkan ke Areal Taman Rekreasi Sena Putra Malang. Sekarang ini Monumen Hamid Rusdi berada di Simpang Balapan atau Ijen Boulevard. Monumen Hamid Rusdi ini bersifat sebagai alun – alun dari wilayah Ijen. Ini merupakan salah satu lokalitas yang tidak ditinggalkan oleh pemerintahan Belanda.
Seiring dengan perkembangan jaman dan perubahan arus global, kawasan – kawasan Ijen mulai semakin dipadati, sehingga keindahan yang dulu didapat dan dengan mudah dilihat, tidak dapat lagi dinikmati dengan mudah, karena memang ramai dan bangunan – bangunan pribumi mulai masuk dan merusak keindahan kawasan bangunan – bangunan peninggalan Kolonial Belanda.
- Sejarah dan Teori Arsitektur -
4 komentar:
salam kenal. mas/pak maaf saya izin untuk mengambil beberapa kalimat untuk saya jadikan sumber tugas kuliah dari blog anda untuk tugas, kalau boleh tahu gambar dan sumber anda dari buku apa? referensi bukunya? terimakasih banyak;)
salam kenal. pak/mas mau izin beberapa hal di blog anda saya jadikan sumber untuk tugas kuliah saya. kalau boleh tahu referensi blog anda ini dari mana/dari buku apa ya? (daftar pustaka)
terima kasih banyak.
Thanks infonya.
Jasa Pembuatan Pagar di Malang
Jasa Pembuatan Kanopi di Malang
Joss. Artikel yang bagus sekali. Informasi yang sangat bermanfaat. Salam kenal dari Rental Mobil Malang, Telkomsel 0821 41555 123
Posting Komentar