One of the Greatest Milan
“The Swan of Utrecht”,
“Rudolph Nureyev of Football”,
“The Flying Dutchman”,
“Guido Cavalcanti of penalty area”,
“White Tulip”.
Berbagai julukan dalam satu nama, ya dialah sang legenda Milan
“Guido Cavalcanti of penalty area”,
“White Tulip”.
Berbagai julukan dalam satu nama, ya dialah sang legenda Milan
The Legend of Milan |
Seorang pemain yang elegan, dengan kelas yang sangat luar biasa. Yang membuat para penggemar sepakbola jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pada keharmonisan pergerakannya ketika menguasai bola, gol-gol yang ia ciptakan ke gawang lawan, dan cara-cara ia saat menciptakan gol-gol tersebut.
Tenang, alami, penuh hasrat, ambisi, menakutkan, mematikan,
Van Basten adalah salah satu dari sedikit striker yang lengkap dalam sejarah sepakbola.
“Perfect”
Tinggi, gesit, mampu berlari dengan cepat, teknik dan skill kelas tinggi, tangguh dalam duel bola-bola atas, akrobatis, oportunis, “sniper”, kedua kaki dan kepala yang sama hebatnya, dribbling, kemampuan melihat celah, serta piawai melakukan “networking” bersama pemain-pemain yang lain dari segala macam posisi dengan power, presisi dan akurasi yang mengagumkan. Kombinasi “canggih” yang memberi keleluasaan dan kebebasan yang besar baginya dalam mencetak gol, memberi assist, serta menghibur penonton melalui penampilan yang fantastis.
"Magical"
Van Basten adalah pemain yang memiliki sisi “magis”.
(Walaupun tidak ada hubungannya, tapi ia lahir tepat pada Halloween’s Day, 31 Oktober 1964.)
Ia sama-sama mencetak gol pertama dan terakhirnya di Serie A ketika sedang bertanding di kandang lawan, dengan skor yang sama, dan ke gawang yang dijaga oleh kiper yang sama.
13 September 1987, Musim 1987-1988.
Giornata 1.
Pisa 1 – 3 Milan.
Gol di menit ke-80 (titik penalti)
Kiper Pisa : Alessandro Nista.
9 Mei 1993, Musim 1992-1993.
Giornata 30.
Ancona 1 – 3 Milan.
Gol di menit ke-39.
Kiper Ancona : Alessandro Nista.
Setiap Van Basten mencetak gol, Milan tidak pernah kalah, ia seperti seorang dewa yang selalu memberikan kejayaan pada setan merah Italia, A.C. Milan, Il diavollo rosso, rossoneri
Saverio Fiore, seorang wartawan sepakbola, pernah menuliskan suatu testimonial mengenai Van Basten :
“Jika terserah pada keinginanku sendiri, aku akan men-setting kameraku selama 90 menit hanya tertuju padanya. Untuk “menangkap” esensi-nya, untuk “menangkap” setiap harmoni-nya, dan semua “tarian”-nya di atas rerumputan, dimana Rudolph Nureyev pun terasa seperti tidak ada artinya. Sebuah pelangi tidaklah lebih dari suatu busur multiwarna yang terdiri dari rangkaian warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Tapi Si Tulip Putih ini lebih dari sekedar sebuah pemandangan optikal atau rangkaian “warna-warna” semata. Ia adalah sosok fenomenal yang menjadi sumber inspirasi bagi banyak “seniman” dalam terciptanya “lagu-lagu” dan “lirik-lirik” yang penuh gairah dan pesan cinta. Ia adalah tulip magis yang mempersembahkan “pelangi-pelangi” menakjubkan bagi timnya.”
Selama menjadi seorang Rossoneri, ia telah banyak memberi gelar dan trophy yang prestisius. Begitu pun sebaliknya, ia juga menerima banyak pengakuan dan penghargaan pribadi dari berbagai kalangan sepakbola. Van Basten dan Milan bagaikan sebuah “anomali logis” dalam sepakbola. Keduanya saling membutuhkan. Keduanya saling membesarkan dalam balutan loyalitas, totalitas, respect dan cinta.
Setiap pertandingan yang dimainkannya, dijalani dengan penuh rasa cinta dan kegembiraan, yaitu rasa cinta yang mendalam terhadap sepakbola itu sendiri, dengan segala aspeknya dan kesadaran penuh bahwa dirinya adalah bagian dari sesuatu yang sangat dicintainya itu, memberikan rasa kegembiraan baginya ketika memasuki lapangan. Kegembiraan yang kemudian dikonversikan menjadi aksi-aksi yang monumental.
Sebegitu pentingnya dia di mata Silvio Berlusconi, sampai-sampai bahkan Arrigo Sacchi pun (selain karena mendapat tugas melatih tim Azzuri) dilengserkan oleh Berlusconi karena sudah tidak memiliki kecocokan lagi dengan Van Basten. Hubungan antara kedua legenda ini memang memburuk di awal-awal dekade 90-an karena sesuatu hal yang dirahasiakan.
Ketika menciptakan 'gol legendarisnya' pada tanggal 25 Juni 1988 di final Euro’88 saat menghempaskan Uni Sovyet dengan skor 2-0 (satu gol lagi dicetak oleh Ruud Gullit), pelatih Tim Oranje saat itu, Marinus “Rinus” Michels (pencipta Total Football) sampai-sampai berdiri dari bench, memegang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri dengan ekspresi wajah dan gestur badan yang menunjukkan ketidakpercayaannya akan apa yang baru saja ia lihat.
Reaksi Michels itu bisa dimaklumi, karena yang baru saja ia saksikan adalah sesuatu yang seharusnya hanya terjadi dalam sebuah cerita dongeng. Michels seperti dipaksa percaya bahwa yang baru saja terjadi di depan matanya sendiri adalah sebuah kejadian nyata, bukan mimpi atau ilusi.
Namun, secara pribadi, Van Basten menyebutkan bahwa 'gol yang terindah' yang pernah ia ciptakan adalah pada tanggal 5 April 1989, yaitu pada pertandingan semifinal leg I Liga Champions 1988-1989 menghadapi Real Madrid di Santiago Bernabeu. Skor 1-1.
Gol sambil “terbang” melalui sundulan yang luar biasa, unik, tak ada bandingannya, tak dapat diulang kembali, dan identik dengan dirinya.
"Ironic"
Memang benar, ia berhasil mempersembahkan gelar kampiun kepada timnas Belanda di ajang Euro ’88 di Jerman Barat, dengan cara yang sempurna.
Namun, usai kesuksesan tersebut, berbagai macam ironi secara individual menyertai kiprah Van Basten bersama tim nasional Belanda.
(di Euro ’88 ini, Van Basten mengenakan jersey dengan nomor punggung yang tidak lazim untuk ukuran seorang bintang yang berposisi sebagai striker utama, yaitu 12. Nomor 9 dipakai oleh Wim Kieft, tandemnya di Ajax.)
Ia hanya tampil sebanyak 4 pertandingan di Piala Dunia 1990 di Italia. Dan itu merupakan satu-satunya perhelatan Piala Dunia yang diikutinya.
Padahal ia adalah seorang peraih 3 Ballon d’Or (Pemain Terbaik Eropa) dan 1 gelar Pemain Terbaik Dunia.
Dari 4 pertandingan tersebut, tidak sekali pun kemenangan diraih (3 seri, 1 kalah), dan tanpa mampu mencetak satu gol pun. Bahkan Ruud Gullit seolah-olah mengikuti jejak rekannya tersebut, tidak mencetak satu gol pun.
Sebelumnya, di babak kualifikasi Piala Dunia zona Eropa, Van Basten dan Gullit masing-masing pun hanya mencetak 1 gol saja.
(Di Piala Dunia ini, Leo Beenhakker menggantikan jabatan Rinus Michels sebagai pelatih. Dan ketidakharmonisan sang pelatih dengan Van Basten dan Ruud Gullit serta beberapa pemain pilar tim menjadi salah satu faktor kegagalan total timnas Belanda di turnamen ini.)
Padahal masa itu adalah era ketika ia, bersama Milan, sedang berada di puncak permainannya. Merebut trophy Champions Cup untuk yang kedua kalinya, dan secara berturut-turut pula.
Bahkan pertandingan terakhirnya di Piala Dunia itu ditutup dengan sebuah kekalahan, yang menghentikan langkah timnya ke fase berikutnya.
Der Oranje (yang diperkuat oleh 3 pemain Milan : Van Basten, Ruud Gullit, Frank Rijkaard) kalah 1-2 dari Jerman Barat (yang diperkuat oleh 3 pemain Inter : Lothar Matthæus, Jürgen Klinsmann, Andreas Brehme).
Tidak ada yang dihasilkan Van Basten di pertandingan ini, selain sebuah kartu kuning.
Padahal di babak kualifikasi Piala Dunia zona Eropa, Belanda yang berada satu group dengan Jerman Barat, berhasil lolos dengan status sebagai juara group, sedangkan Jerman Barat hanya menempati posisi runner-up.
Di negeri Italia, bersama Milan, ia “terbang” dan mencapai kesuksesan tertinggi. Dan Piala Dunia 1990 ini adalah turnamen besar pertama di mana Van Basten akhirnya mengenakan jersey Oranje No. 9.
Namun, justru di Piala Dunia yang berlangsung di “negeri”-nya inilah ia mengalami kegagalan total.
Dan yang semakin menambah tragisnya ironi ini bagi Van Basten adalah kekalahan yang menyakitkan tersebut berlangsung di Stadion San Siro, rumah dan tempat dimana ia dianggap seorang “dewa”.
Padahal bersama Milan di musim yang baru saja berlalu (1989-1990), Van Basten mencetak 14 gol di stadion ini di semua ajang yang diikuti Milan.
Dan San Siro adalah stadion terakhir di mana ia tampil dalam Piala Dunia.
Ironi berikutnya yang tidak kalah menyakitkan adalah Euro ’92 di Swedia.
Datang dengan status sebagai juara bertahan, Van Basten bersama dengan dua rekan Rossoneri-nya (Gullit dan Rijkaard) menjadi roh permainan tim. Ketiganya baru saja membawa Milan meraih scudetto dengan catatan fantastis : tidak terkalahkan sepanjang musim. Rekor baru di Italia.
Penampilan Der Oranje yang mengesankan di partai-partai awal di Euro ’92 ini, sepertinya akan mengulangi kembali kesuksesan Euro sebelumnya. Apalagi posisi pelatih ditempati kembali oleh Rinus Michels.
Materi pemainnya pun lebih mengkilap dibandingkan sebelumnya.
Dennis Bergkamp adalah salah satu pemain penting yang masuk melengkapi skuad tim Oranje, mencetak 3 gol dalam turnamen ini.
Tim Jerman (yang ketika masih bernama Jerman Barat mengalahkan mereka di Piala Dunia di Italia) mereka libas dengan skor 3-1 di penyisihan group.
Hampir mirip dengan yang mereka lakukan 4 tahun sebelumnya yaitu mengalahkan Jerman Barat dengan skor 2-1, ketika Jerman Barat menjadi tuan rumah Euro ’88.
(Re-unifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi satu negara Jerman, baru resmi terjadi pada tanggal 3 Oktober 1990.)
Mereka pun melangkah ke semifinal sebagai juara group (di atas Jerman yang tampil sebagai runner-up).
Lawan mereka di semifinal “hanyalah” Denmark, yang sebenarnya tidak lolos ke Euro tersebut karena hanya menempati posisi runner-up sewaktu di babak kualifikasi. Namun, karena Yugoslavia (sang juara group) di-diskualifikasi oleh UEFA akibat perang saudara yang berkecamuk di negeri mereka, maka Denmark secara darurat ditunjuk sebagai tim pengganti.
Waktu persiapan timnas Denmark pun hanya sekitar 4-5 hari.
(Keputusan sanksi dari UEFA terhadap timnas Yugoslavia ini banyak mendapat kritik dan kecaman, karena dianggap mencampuradukkan sepakbola dengan politik.)
Pertandingan diprediksikan bakal berat sebelah.
Denmark yang datang dengan pemain-pemain seadanya dan persiapan yang minim, plus statusnya yang hanya sebagai “tim pelengkap”, akan berhadapan dengan Belanda, sang juara bertahan yang tampil full-team dan menampilkan kembali permainan asli mereka yang menakutkan dan Total Football, di bawah arahan langsung sang kreatornya.
Tapi, disinilah sepakbola membuktikan dirinya sebagai olahraga yang misterius.
Di luar dugaan, Denmark berhasil menahan Belanda dalam waktu normal 2 x 45 menit, dimana Belanda justru tertinggal dua kali dan baru bisa menyamakan skor menjadi 2-2 pada menit ke-86 melalui gol Frank Rijkaard.
Babak extra-time dijalani dengan tidak menghasilkan satu gol pun.
(Sampai berakhirnya babak kedua extra-time di babak semifinal ini, Van Basten belum mencetak satu gol pun di turnamen ini. Dan lagi-lagi, demikian halnya dengan Gullit.)
Padahal bersama Milan di musim yang baru saja berlalu (1991-1992), Van Basten mencetak 25 gol di Serie A dan menjadi capocannonieri.
Pertandingan harus diselesaikan dengan adu penalti.
Lima eksekutor tim Denmark masing-masing sukses melesakkan bola ke dalam gawang.
Di kubu Belanda, hanya empat algojo yang berhasil menjalankan tugasnya.
Satu-satunya pemain yang gagal mengeksekusi penalti adalah
Van Basten !
Padahal ia dikenal sebagai eksekutor tendangan penalti yang handal. Dan bersama Milan di musim yang baru saja berlalu (1991-1992), Van Basten sukses mencetak 6 gol melalui titik penalti.
Tendangannya berhasil dipatahkan kiper Denmark,
Peter Schmeichel !
Belanda pun gagal mempertahankan gelar juaranya.
(Di partai final, Denmark berhasil menggebuk Jerman dengan skor 2-0, dan menjadi juara. Sepakbola memang benar-benar misterius)
Tendangan Van Basten yang gagal mengeksekusi penalti pada pertandingan ini adalah merupakan aksinya YANG TERAKHIR bersama Der Oranje di putaran final sebuah turnamen besar.
Padahal di tahun 1992 ini, ia meraih gelar Pemain Terbaik Dunia.
Dan gol spektakuler Sang Angsa di final Euro ’88 ternyata adalah merupakan golnya YANG TERAKHIR bagi Der Oranje di sebuah turnamen besar.
Padahal terakhir kali ia mencetak gol sebagai pemain aktif adalah pada tanggal 9 Mei 1993 (Serie A : Ancona – Milan).
Dan terakhir tampil di lapangan hijau sebagai pemain aktif adalah pada tanggal 26 Mei 1993 (Final Champions : Milan – Marseille).
Rentang waktu 5 tahun.
Ironi-ironi yang misterius.
Namun ceritanya berbeda ketika ia berseragam Milan.
Di Milan,
Sang Angsa menampilkan segalanya.
Setiap “kepakan sayap”-nya berarti bencana bagi lawan.
Setiap “terbang”-nya berarti maut bagi lawan.
Setiap “tarian” indahnya berarti mimpi buruk bagi lawan.
Di Milan,
The Flying Dutchman meraih segalanya.
Setiap “liukan”-nya adalah sesuatu yang elegan.
Setiap “ilusi”-nya adalah sesuatu yang megah.
Setiap “badai” yang ditimbulkannya adalah sesuatu yang spektakuler.
Di Milan,
Si Tulip Putih memberikan segalanya.
Setiap “mekar”-nya merupakan kesuksesan.
Setiap “keindahan”-nya merupakan kemasyhuran.
Setiap “anggun”-nya merupakan keabadian.
Di Milan,
Segalanya begitu sempurna.
Ia identik dengan kemenangan.
Ia simetris dengan gelar juara.
Ia menciptakan legendanya sendiri.
Di Milan,
Ia mampu menaklukkan ironi.
Di Milan,
Ia mencapai nirwana tertinggi.
Di Milan,
Ia tak tergantikan.
Di Milan,
ia adalah SAN MARCO
SANG DEWA KEMENANGAN !
Dan di Milan pula lah Van Basten akhirnya, dengan sekuat tenaga, menahan tangis ketika mengucapkan kata-kata perpisahan kepada para fans, rekan-rekan Rossoneri, serta kepada olahraga yang sangat dinikmati dan dicintainya ini. Cedera engkel yang terus berkesinambungan menjadi sekat antara dirinya dan Milan.
Ketakutan lawan akan “keganasan” Sang Angsa menjadikannya target yang “wajib” untuk dilumpuhkan dalam setiap pertandingan, dengan cara apa pun. Dengan predikatnya sebagai predator atau “pemangsa” yang tak kenal ampun, secara bersamaan ia juga berpredikat sebagai “mangsa” yang harus segera “dibantai” tanpa kompromi. Talenta luar biasa yang dimilikinya adalah suatu berkah dan karunia yang sangat jarang dimiliki oleh pemain lain, yang membuat namanya megah di dunia sepakbola. Namun di satu sisi, talenta itu menjadi semacam “kutukan” juga bagi dirinya. Talenta yang luar biasa itulah yang “membuat” ia harus pensiun secara dini.
Ironi terbesar dalam dirinya.
Suatu ironi dan paradoks konsekuensional. Bakat, kreatifitas dan instingnya yang luar biasa justru menjadikan dirinya sebagai incaran. Sebelum setiap pertandingan dimulai, seolah-olah sudah terbersit satu keniscayaan di dalam benak setiap pemain lawan, terutama pemain belakang : Van Basten harus disingkirkan secepat mungkin. Sportifitas dan Fair-Play tidak mampu menghentikan Van Basten. Dibutuhkan “kekejaman” yang luar biasa untuk bisa menyingkirkan pemain yang luar biasa ini. Dan itulah yang dilakukan lawan-lawannya. “Kekejaman” yang luar biasa, dan secara terus-menerus.
Hingga akhirnya Sang Angsa benar-benar terkapar. Keping emas terakhir dari Trio legendaries. Ketika rekan-rekannya masuk keluar stadion untuk berjuang memperoleh kejayaan, ia justru masuk keluar ruang bedah sambil memikul rasa sakit yang amat sangat. Tetap berusaha menahan semua itu demi keinginannya untuk kembali ke lapangan hijau. Demi Milan dan demi olahraga yang dicintainya itu.
Dua setengah tahun dilaluinya dengan penuh kesakitan dan kesabaran.
Dua setengah tahun yang penuh dengan sayatan pisau bedah.
Dua setengah tahun tanpa menebar maut di daerah penalti lawan.
Dua setengah tahun tanpa menorehkan namanya di papan skor.
Dua setengah tahun tanpa jersey no. 9.
Via Turati, 17 Agustus 1995.
Akhirnya, dengan didampingi oleh Adriano Galliani, ia mengucapkan ini di hadapan para wartawan di ruang trophy di Via Turati :
“Saya punya berita dan akan menyampaikan pada anda sekalian secara singkat, Saya memutuskan untuk berhenti. Terima kasih kepada semua orang”
Semua yang hadir di ruangan itu menjadi gaduh tak percaya akan apa yang baru saja mereka dengar. Kilatan lampu kamera tak henti-hentinya menerpa dan mengabadikan sang legenda.
Kemudian ia menambahkan lagi :
“Bersama Milan, saya menghabiskan 8 tahun yang luar biasa dalam hidup saya. Tapi sayangnya, saya harus berhenti di sini. Ini sudah menjadi bagian dari hidup. Saya menyesal ini terjadi, saya minta maaf atas semuanya Bekerja bersama AC Milan sangatlah mengagumkan”
Kemudian ada pertanyaan yang ditujukan kepada Adriano Galliani.
“Jika Baggio diibaratkan sebagai Raphael, siapakah yang akan anda gambarkan bagi Van Basten ?”
Galliani diam beberapa saat, seolah-olah seperti sedang bermeditasi. Lalu ia pun menjawab
“Menurut saya, ia adalah Leonardo Da Vinci, Eklektis, engineer, seniman.”
San Marco berbicara lagi ketika ditanya soal momen terbaiknya selama menjadi pemain sepakbola :
“Di Barcelona, sebelum final menghadapi Steaua Bucharest, ketika bis tim mendekati Nou Camp, kami melewati jalanan yang dipenuhi oleh sekitar 90.000 tifosi kami. Itu adalah sebuah perasaan yang sangat mengesankan. Saya juga ingat Kejuaraan Piala Eropa di Jerman bersama tim nasional Belanda, namun sekarang, maafkan saya, saya menatap ke depan. Saya sudah terlalu banyak berbicara mengenai masa lalu, Sepakbola akan terus berlanjut, Milan tidak akan berakhir hanya karena kepergian saya, di sini ada Baggio, Savicevic, Weah, Baresi dan Maldini, AC Milan akan selalu gemilang di tangan mereka”
Pada momen ini, bahkan para hadirin yang terdiri dari orang-orang profesional pun luruh dan hanyut dalam emosionalitas yang mendalam. Mereka memberi tepuk tangan penuh penghormatan. Nyaris tanpa mereka sadari. Ketika ia ditanya apakah perlu untuk me-museum-kan jersey no. 9 miliknya, ia menjawab :
“Tidak. Saya tidak layak mendapatkan kehormatan seperti itu. Franco Baresi telah berada di klub ini seumur hidupnya. Ia-lah yang pantas mendapatkan kehormatan tersebut. Saya hanya 8 musim berada di sini, dan hanya bermain selama 6 musim saja.”
Ia juga berujar kepada George Weah yang baru ditransfer dari Paris St. Germain,
“Sebaiknya anda mengenakan jersey itu, Jersey No. 9 adalah jersey yang bagus.”
Trophy-trophy di ruangan itu yang berkilau berkat “tarian” Sang Angsa di lapangan hijau menjadi semakin berkilau diterpa “sihir” sang legenda. Para jurnalis pun menyinggung soal Trofeo Berlusconi antara Milan dan Juventus yang akan berlangsung keesokan harinya, di mana telah disiapkan acara khusus bagi perpisahannya, yaitu mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh tifosi di San Siro dengan melakukan “tour” sepanjang tribun penonton sambil mengenakan jersey No. 9 –nya.
Ia berkomentar :
“Tidak. Saya berharap kalian tidak akan memaksa saya. Saya tidak ingin menangis. Saya kelihatan bodoh sekali saat menangis. Saya hanya akan mengucapkan selamat tinggal saja, dan setelah itu : selesai”
San Siro : Trofeo Berlusconi, 18 Agustus 1995.
Para Milanisti dan Juventini hadir memadati stadion San Siro. Semua pemain dari kedua kubu sudah berada di pinggir lapangan. Mereka seharusnya adalah pusat perhatian dalam pertandingan ini. Namun, mereka justru malah sedang menunggu sesuatu. Menunggu suatu momen yang spesial. Menunggu seseorang yang spesial.
Sosok itu pun memasuki lapangan dengan mengenakan jaket berwarna kecoklatan, celana blue-jeans, dan mata yang berbinar.
San Marco, “Sang Dewa”, berjalan dengan penuh kharisma.
Bahkan Pierluigi Collina, si wasit “killer”, pun seolah-olah merasa perlu untuk menyalami San Marco sekali lagi. Padahal Collina sudah berkali-kali menyalaminya selama ini ketika sedang bertugas sebagai wasit. Tepuk tangan yang tak henti mengiringi setiap langkah Van Basten di rerumputan San Siro dan puncaknya adalah ketika ia berlari mengelilingi lapangan untuk menyapa semua yang hadir di San Siro.
Banyak orang yang menangis, termasuk juga para Juventini yang hadir di stadion pada saat itu. Hal ini belum pernah terjadi terhadap pemain lain mana pun dan ketika Van Basten berlari ke arah Selatan untuk melambaikan tangan kepada Curva Sud,
Fabio “Sang Inspektur” Capello pun menangis ! Bukan hanya sekedar menitikkan air mata, tapi benar-benar menangis !!
Ini mungkin adalah satu-satunya adegan yang terekam oleh kamera yang memperlihatkan Capello menangis di depan publik. Cuma Van Basten yang sanggup membuat pelatih yang terkenal berkarakter keras ini melepas ego-nya dan menangis di hadapan khalayak ramai dan jika seorang Capello saja bisa sangat emosional seperti itu, bisa dibayangkan betapa dalam kesedihannya. Betapa besar arti pemain ini baginya dan betapa luar biasa rasa kehilangan yang dirasakannya. Suatu kehilangan yang sangat luar biasa.
Penonton kehilangan aksi-aksi menghiburnya.
Tifosi kehilangan pahlawannya.
Pemain bola kehilangan panutannya.
Pelatih kehilangan andalannya.
Milan kehilangan “dewa”-nya.
Der Oranje kehilangan “kapal hantu”-nya.
Sepakbola kehilangan “seniman”-nya.
Olahraga kehilangan “putra”-nya.
Sehari setelah pengumuman pensiun San Marco, La Gazzetta dello Sport mencantumkan headline yang bertuliskan :
“ Dove troveremo un altro come lui ? “
Di manakah kita akan menemukan lagi yang seperti dia ?
Beberapa waktu usai acara perpisahan tersebut, Van Basten diwawancarai oleh FIFA Magazine.
“Seberapa sulitkah membuat keputusan untuk “menyerah” di hadapan disabilitas fisik setelah menjadi salah satu atlet terbesar di dunia ?”
“Sejujurnya, tidak sesulit yang dibayangkan. Setelah hampir 3 tahun dalam penderitaan, saya berkeinginan untuk kembali memiliki hidup yang normal. Cobalah anda bayangkan, mengalami rasa sakit setiap menit dalam satu hari saja. Pasti sangat menyiksa. Saya merasakannya selama 3 tahun, Rasa sakit di engkel saya menjalar sampai ke seluruh badan saya. Belum lagi rasa sakit yang ditimbulkan akibat bekas sayatan-sayatan pisau bedah seusai operasi. Selama masih ada harapan, saya menahan rasa sakit tersebut. Namun, setelah menjalani banyak operasi dan perawatan, ternyata saya hanya menemui jalan buntu”
“Setelah bekerjasama dengan pelatih-pelatih terbaik (Aad De Mos, Johan Cruyff, Rinus Michels, Leo Beenhakker, Arrigo Sacchi, Fabio Capello), apa pendapat anda tentang mereka ?”
“Menurut saya, hanya 1 di antara 10 pelatih yang mampu meng-improve atau memperbaiki sebuah tim. Itulah sebabnya saya sangat mengagumi Johan Cruyff dan Arrigo Sacchi. Dua pelatih dengan ide-ide cemerlang. Satu keistimewaan yang membedakan seorang pelatih hebat dengan pelatih lainnya adalah bahwa keputusan-keputusannya tidak pernah dipengaruhi atau didasari oleh rasa takut. Seorang pelatih seperti Cruyff tidak pernah memiliki rasa takut ketika sedang berada di bench, apapun kondisi tim-nya di lapangan. Mereka bisa membaca permainan dengan baik, mencintai permainan yang menyerang. Sepakbola menuntut stabilitas tingkat tinggi. Dan sangat sulit untuk menciptakan suatu stabilitas, karena semua orang ingin mengalahkan anda setiap anda usai meraih sebuah kesuksesan. Pelatih hebat memiliki energi dalam jumlah yang besar, karena bukan hanya soal taktik dan teknik. Ia harus menjadi roh bagi tim-nya.”
“Apa pendapat anda tentang kemewahan yang didapat sebagai seorang atlet ?”
“Banyak orang mengatakan bahwa semakin banyak uang yang anda miliki, semakin anda menginginkan lebih. Tapi menurut saya, berdasarkan pengalaman pribadi, semakin banyak uang yang saya miliki, semakin saya merasa jenuh. Bagi saya, kemewahan adalah melakukan apa yang saya inginkan. Saya ingin tidur di sebuah motel kecil, atau sebuah hotel bintang lima. Dua-duanya sama menyenangkan, asalkan saya melakukan itu karena memang itu adalah keinginan saya, bukan karena ingin memenuhi keinginan orang lain. Itulah kemewahan yang sebenarnya. Tidak semua orang mampu dan berani menjadi dirinya sendiri”
“FIFA akan segera merumuskan peraturan baru tentang jumlah pergantian pemain, menambah jenis larangan dalam men-tackle, serta memberi sanksi terhadap pemain yang terlalu banyak melakukan pelanggaran di lapangan hijau, serta pelanggaran-pelanggaran signifikan yang luput dari pengamatan wasit. Apakah itu tujuan anda datang ke Zurich (markas FIFA) baru-baru ini ?”
“Saya tidak datang ke Zurich atas inisiatif saya. Saya hanya melakukan apa yang diminta dari saya. Mereka meminta saya untuk memberi pendapat dan saran mengenai metode-metode yang tepat untuk memperbaiki mutu tontonan suatu pertandingan sepakbola. Menurut saya, kartu kuning dan kartu merah sudah tidak cukup lagi berfungsi sebagai sanksi. Para defender sudah semakin pintar, banyak pelanggaran yang tidak mendapat hukuman. Pemain-pemain seperti Jürgen Kohler (Juventus) dan Pietro Vierchowod (Sampdoria) melanggar saya sekurangnya 15 kali dalam satu pertandingan, wasit pun meniup peluit sebanyak 15 kali. Itu berarti, pertandingan terhenti sebanyak 15 kali dan para penonton pun kehilangan 15 kali kesempatan menyaksikan aksi-aksi yang menghibur. Di sisi lain, pemain yang melakukan pelanggaran tersebut lolos tanpa mendapat satu kartu kuning pun, karena pelanggaran yang dilakukan dianggap tidak terlalu keras. Jika saja, mereka mendapat sanksi konkrit atas pelanggaran yang sudah mencapai jumlah tertentu, maka para defender tersebut pastilah akan semakin memperhatikan apa yang mereka lakukan di lapangan. Para penyerang akan mendapat ruang yang lebih untuk bermain. Permainan akan semakin efektif, bersih, dan menghibur tanpa jeda waktu yang terlalu banyak dan mengganggu".
“Bagaimana perasaan anda sekarang ?”
"Saya senang bisa mengambil keputusan tersebut, karena saya akhirnya bisa mulai belajar menanggulangi rasa sakit saya dengan cara yang lebih baik”
Galliani pun berujar dengan lirih :
“ Il calcio perde il suo Leonardo Da Vinci”
Sepakbola telah kehilangan Leonardo Da Vinci – nya
Pada pertandingan perpisahan atas pensiunnya Franco Baresi pada tanggal 28 Oktober 1997, Van Basten bermain layaknya pemain yang masih aktif, walaupun hanya selama 25 menit. Ia di gantikan oleh Pietro Paolo Virdis di menit ke-26. Pada satu kesempatan di pertandingan tersebut, Sang Angsa men-dribble bola sejauh kira-kira 40 meter sambil melewati beberapa pemain, namun gagal mencetak gol saat berhadapan dengan kiper Michel Preud’homme, kiper legendaris Belgia. Segenap yang hadir segera berdiri dan memberikan “standing ovation” yang lama kepada Van Basten. Selama “standing ovation” tersebut, Curva sud meneriakkan dan memanggil-manggil namanya. Namun, ia tidak menghampiri mereka. Selesai pertandingan, ia ditanya soal alasan tidak menghampiri Curva Sud saat “dipanggil” tadi di pertandingan.
Ia menjawab,
“Pertandingan ini dipersembahkan bagi Franco, dialah bintang dan sorotan utama dalam pertandingan ini. Bukan saya.”
Ia sangat menghormati “kapten” – nya itu, Namun di kesempatan lain, pada pertandingan perpisahan sahabat dan mantan rekan setim-nya, Demetrio Albertini, tanggal 15 Maret 2006 menghadapi Barcelona di San Siro, San Marco mencetak gol yang sangat spektakuler, yang sangat identik dengan dirinya. Gol yang sangat mirip dengan golnya pada tanggal 5 April 1989 ke gawang Real Madrid di semifinal leg I Champions Cup 1988-1989, yang ia sendiri menyebutnya sebagai gol terbaik yang pernah ia ciptakan. Gol yang pernah dikomentari oleh semua kalangan sebagai gol yang “impossible” yang tidak mungkin bisa diulang lagi walaupun oleh Van Basten sekalipun.
Gol yang diibaratkan sebagai “flight of angels”
Ia melakukan hal yang dianggap “impossible”
Dan kali ini ia melakukannya setelah 11 tahun pensiun
Kali ini ia melakukannya di San Siro
Gol terakhir San Marco di San Siro
Seisi San Siro tercengang dan takjub menyaksikan gol tersebut.
Komentator hanya bisa berkomentar singkat :
“ il Cigno ripreso a volare”
Sang Angsa telah kembali terbang
16 tahun telah berlalu sejak pengunduran diri Van Basten, namun tetap masih sangat disayangkan bahwa seorang juara harus pensiun di saat sedang berada dalam masa-masa terbaiknya. Selain figur dan kemampuannya yang luar biasa, apa yang ditinggalkan oleh Van Basten pun telah menunjukkan kelasnya yang mengesankan. Ia begitu lengkap dan tak tergantikan. Satu-satunya hal yang bisa dikomparasikan antara Van Basten dengan striker-striker Milan sesudahnya adalah dari segi jumlah gol saja. Van Basten sudah membuktikan diri sebagai mesin gol yang membuat Milan tidak terkalahkan jika ia mencetak gol.
Milan tetap berjaya sepeninggal San Marco, tetapi jelas saja berbeda ketika ia tidak lagi berada dalam skuad Milan.
Ada empat pemain yang telah mengenakan jersey legendaris no. 9 miliknya usai ia pensiun : George Weah, Patrick Kluivert, Gianni Comandini, Filippo Inzaghi.Mereka bermain dengan baik. Mereka juga mencetak gol bagi Milan. Tapi sangat berbeda dengan ketika menyaksikan Sang Angsa melakukan hal yang sama tersebut. Pergerakan-pergerakan dan keunikan-keunikannya sangatlah menggambarkan Van Basten, tak bisa ditiru dan tak tergantikan San Marco telah memberikan pengalaman-pengalaman emosional yang unik dan tak terlupakan bagi para tifosi. Aksi-aksi menakjubkannya di lapangan telah membawa “Il Diavolo” ke dalam “paradise” yang tertinggi. Seandainya pun ia tidak mengundurkan diri secara dini, ia tidak akan meninggalkan Milan. Ia sangat mencintai Milan. Ia sangat setia terhadap Milan. Sebaliknya pun, dua tahun tanpa bermain, sama sekali tidak mampu membuat Milan melepaskannya. Van Basten dan Milan saling membutuhkan, saling mencintai, saling setia apapun yang terjadi. Pada perayaan 100 tahun AC Milan, 16 Desember 1999, Van Basten pun dinobatkan sebagai
“Attaccante Milanista del secolo”.
Striker AC Milan abad ini.
San Marco Sang Dewa Kemenangan |
dan tidak akan pernah tergantikan sampai kapanpun
San Marco van Basten 'Sang Dewa Kemenangan'
Forza Il Diavollo Rosso, Rossoneri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar