Rabu, 22 Februari 2012

Candi Borobudur

~ Architecture ~

Candi Borobudur
Candi Borobudur merupakan sebuah candi umat Buddha terbesar di Indonesia yang terletak di Desa Borobudur (Bumisegoro), Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia, tepatnya ± 40 km dari kota Yogyakarta dan ± 100 km dari kota Semarang. Candi ini pernah menjadi bagian dari 7 keajaiban dunia dan masih menjadi salah satu situs yang dilindungi oleh UNESCO. (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Candi Borobudur juga menjadi salah satu objek wisata yang cukup terkenal di Indonesia.

Sejarah Candi Borobudur

Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh penganut ajaran Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an masehi pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra. Namun, sejarawan asal Belanda, Johanes Gijsbertus (Hans) de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada tahun 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan, hal ini ia perkirakan berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahuluan. Casparis juga memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 Masehi. Bangunan candi itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani memerintah. Candi Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad dalam proses pembangunannya.

Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa memiliki minat istimewa terhadap seni dan sejarah Jawa. Pada saat kunjungan inspeksinya ke Semarang, ia mendapat kabar tentang keberadaan sebuah bangunan berupa candi di tengah hutan dekat desa Bumisengoro. Raffles menyelidiki kebenaran keberadaan candi tersebut dengan dibantu seorang insinyur asal Belanda yang bernama H. C. Cornelius. Cornelius menugaskan masyarakat setempat untuk menebangi dan membersihkan candi dan sekitarnya dari semak beluka, namun karena ancaman longsor pekerjaan tidak dilanjutkan. Meskipun seluruh bagian candi tidak tergali secara keseluruhan, Cornelius sudah mampu memberikan bukti kepada Raffles tentang keberadaan candi dengan sketsa - sketsa yang ia gambar. Raffles pun dianggap berjasa atas penemuan monumen candi tersebut. 

Hartmann, seorang pejabat Belanda di keresidenan Kedu sangat tertarik dengan Borobudur dan pada tahun 1835 ia melanjutkan pekerjaan Cornelius dengan memerintahkan orang untuk kembali membersihkan candi tersebut hingga akhirnya seluruh bagian candi tergali dan terlihat. F. C. Wilsen seorang insinyur pejabat Belanda di bidang teknik pada tahun 1853, mengatakan bahwa Hartman menugaskannya untuk meneliti dan membongkar puncak stupa. Pembongkaran stupa tersebut menghasilkan penemuan sebuah arca Buddha yang belum selesai, dan benda - benda lain termasuk sebilah keris Di samping itu Wilsen mendapat tugas membuat gambar - gambar dokumentasi tentang candi Borobudur. Beberapa peneliti seperti J. F. G Brumund dan C. Lemmans juga ikut meneliti tentang candi Borobudur ini. Pada tahun 1873 seorang engrafi asal belanda Isidore van Kinsbergen mengambil pertama kali foto tentang monumen ini.

Sejak ditemukan oleh Raffles, Candi Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs warisan dunia (World Heritage) yang dilindungi UNESCO pada tahun 1991.

Jan Willem Ijzerman tahun 1885 membuka dasar candi dan ia menemukan sejumlah relief - relief baru. Pada tahun 1890 - 1891 seluruh relief yang kemudian dikenal sebagai relief Karmawibhanga sebanyak 160 buah panel didokumentasikan seluruhnya oleh seorang photographer bernama Kassian Cephas (Pelopor fotografi di Indonesia), kemudian bagian ini ditutup kembali.

Drh. Th. (Theodoor) van Erp dan N.J. Krom menyusun tulisan lengkap tentang candi Borobudur dan yang baru diterbitkan tahun 1927 dan 1931. Dua karangan tersebut sangat penting untuk penelitian candi Borobudur.

Pada tahun 1975 Siswadhi dan Hariani Santiko menyusun “Anotated Bibliography of Borobudur”, dari laporan awal Borobudur ditemukan, hingga karangan-karangan tahun 1975, yang jumlahnya sangat banyak, tetapi hingga saat ini “Anotated Bibliography of Borobudur”, belum pernah diterbitkan, sehingga karangan-karangan setelah 1975 belum sempat disusun lagi.

Struktur Bangunan Borobudur

Candi Borobudur Keseluruhan
Candi Borobudur secara keseluruhan terlihat sangat istimewa, baik dalam hal ukuran, teknik penyusunan batu, maupun dari segi pemahatan relief dalam hal kualitas maupun kuantitas , pemilihan jenis cerita, arca-arcanya dan sebagainya. Candi berdenah bujur sangkar dan secara keseluruhan berukuran 123 x 123 meter, tinggi asli (dengan chattra, yaitu bagian atas chaitya puncak) 42 m, tanpa chattra menjadi 31 meter.

Candi terdiri atas 10 tingkatan, 6 tingkat di bawah berdenah bujur sangkar dengan catatan ukuran makin ke atas makin kecil, dan tingkat 7,8,9, berdenah hampir bundar, diakhiri oleh stupa puncak yang besar. Secara keseluruhan candi Borobudur berbentuk stupa, tetapi mempunyai struktur berundak teras.

Pondasi candi Borobudur dibuat berbeda, candi didirikan langsung di atas bukit, yang dibentuk sesuai dengan bentuk candi yang dikehendaki dengan cara memotong bagian candi yang tinggi dan mengurug bagian bukit yang rendah. Pondasi bagian candi terluar dibuat masuk ke dalam tanah sedalam kurang lebih satu meter tertumpang di atas lapisan batu karang, sedangkan bangunan di atasnya tertumpang di atas beberapa lapis batu. Keseluruhan bahan yang digunakan adalah bahan - bahan alami yang langsung didapat dari alam. 

Seperti telah disebut terdahulu, candi Borobudur dihias dengan relief cerita, dan relief ornamental yang kaya. Relief cerita menggambarkan adegan - adegan yang diambil dari beberapa sutra, yaitu cerita Karmawibhanga, Lalitawistara, Jatakamala - Jataka, Awadana, dan Gandawyuha.

- Karmawibhanga, Relief Karmawibhanga atau yang sering disebut Mahakarmawibhangga dipahat di atas 160 panil yang menggambarkan ajaran sebab akibat, perbuatan baik dan jahat, setiap panil menggambarkan adegan tertentu dan bukan cerita naratif (beruntun). Adegan - adegan dalam panil tersebut sangat penting untuk melihat perilaku masyarakat Jawa Kuna masa itu, antara lain perilaku keagamaan, mata pencaharian, struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna.

- Lalitawistara (120 panil), berupa relief cerita yang dipahat secara berkesinambungan di dinding candi lorong I tingkat 2. Lalitawistara menggambarkan kehidupan Buddha Gautama sejak lahir sampai keluar dari istana, mendapat pencerahan di bawah pohon bodhi dan diakhiri pada ajaran pertama di Taman Kijang dekat Benares.

- Jatakamala-Jataka dan Awadana Jataka menggambarkan peristiwa dan perbuatan Buddha pada kehidupan yang lampau, ditulis oleh Aryasara pada abad ke-4. Digambarkan Buddha dalam berbagai reinkarnasinya baik sebagai manusia, maupun binatang, memberikan contoh-contoh kebajikan dan pengorbanan diri. Awadana adalah cerita Jataka pula, tetapi tokohnya bukan Buddha melainkan pangeran Sudhanakumara.

- Gandawyuha, merupakan cerita yang sangat penting, menggambarkan Sudhana, putera seorang saudagar kaya yang mencari kebenaran. Ia bertemu berbagai pendeta dan Boddhisatwa, termasuk Siwa Mahadewa. Pada bagian akhir Gandawyuha dikenal sebagai cerita Bhadracari yang menampilkan sumpah Sudhana untuk menjadikan Bodhisattwa Samantabhadra sebagai contoh hidupnya.

Mungkin ini sedikit informasi sejarah tentang candi Borobudur yang bangunan umat Buddha yang menjadi warisan leluhur di Indonesia dan juga menjadi bukti bahwa umat buddha sudah ada di negeri Indonesia ini sejak dulu. Semoga informasi yang saya dapat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

- Sejarah dan Teori Arsitektur -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;